KETIKA CINTA BERUJUNG NESTAPA
M
|
ataku
terbelalak ketika lampu kamarku tiba-tiba mulai padam. Aku pun sontak beranjak dari tempat tidurku.
Tanganku mulai menyanggah tubuhku yang masih sempoyongan. Jemariku mulai
meraba-raba mencari senter sebagai penerangan. Senterpun segera
kunyalakan. Tapi apa daya, mataku mulai
tak bisa berkompromi, Aku mulai tak kuasa menahan tubuhku ini kemudian ku
bantingkan tubuhku dengan keras ke atas kasur empukku.
“uh…tidur
lgi ah…masih ngantuk, Huah…”kataku. Aku tertidur pulas dalam mimpiku.
Tak
terasa mentaripun mulai mengintip dibalik awan. Ayam berkokok sambil sahut-menyahut.
Terdengar suara dibalik pintu bahwa ada seseorang yang memanggil-manggil…
“
Putri, ayo bangun nduk…sudah pagi nih, kamu ndak berangkat kuliah?”Kata mamaku.
Suara
itu adalah mamaku. Mama yang paling menyayangiku. Aku mempunyai keluarga yang
bahagia. Ayahku bernama Mangkunegoro Hadiningrat. Sedangkan mamaku bernama Roro
Sasmito. Mungkin dari nama kedua orangtuaku sudah kelihatan jelas, bahwa aku
masih ada keturunan ningrat. Tapi aku tak pernah memandang orang-orang yang ada
di sekitarku itu sebelah mata. Akupun punya seorang cowok yang bernama Dimas. Dimas
sangat perhatian kepadaku. Tapi apalah daya orang tuaku tak pernah setuju
dengan hubungan kami..
“Kring-Kring”
dering hpku berbunyi. Membuyarkan lamunanku di pagi hari. Ku baca pesan yang
masuk, ternyata temanku sudah menunggu aku di taman kampus.
Aku
berlari mengambil handukku yang berada diatas jemuran dan bergegas ke toilet untuk
mandi.
…
Tak
berapa lama aku sampai di kampus bertemu dengan Dimas kekasihku. Dimas sangat
mencintai aku, tapi apalah daya orang tua tak merestui hubungan kami. Ketika
pulang dari kampus aku diantar sampai gerbang rumah. Mama mengetahui hal itu kemudian
memarahiku “Putri, kamu dianterin Dimas lagi. Dia itu tak sepadan dengan kita
cah ayu, Kita itu keturunan ningrat, sedangkan dia itu hanya anak tukang sapu
di jalanan, mikir tho cah ayu?” kata Mamaku. Aku hanya diam tertegun merenungi
nasibku yang tak kunjung bahagia. Mungkin waktu belum berpihak kepadaku.
Lamunanku
membuat aku tertidur pulas tak tahu waktu. Ku tengok jam dindingku menunjukan
angka tujuh. Itu saatnya aku harus siap-siap untuk pergi bersama Dimas
kekasihku. Aku bingung memilih baju yang cocok untuk pergi kencan bersama Dimas.
Dalam hatiku sangat beruntung sekali mamaku tak mengetahui hal ini. Karena kedua
orang tuaku ada acara di rumah eyang putri. Tak lupa kusemprotkan minyak wangi
ke seluruh badanku. Hatiku berasa dag-dig-dug seperti gendang yang ditabuh begitu
keras. Tak lupa ku jinjing tas warna coklat kesukaanku. Tas itu adalah pemberian dari Dimas tercinta.
Terdengar
suara mesin motor yang tak asing lagi di telingaku. Aku langsung turun dari
tangga membukakan pintu untuk orang yang kusayangi. Meskipun dia mengendarai
motor butut, tetapi hatiya sangat luar biasa. Dimas masuk ke rumahku agak
sedikit gelisah, Takut kalau ada orang tuaku dirumah. “Kok sepi ? ke mana ayah
dan mamamu?”Dimas bertanya sambil clingukan. “Tenang saja, Ayah dan mamaku
sedang pergi ke rumah eyang putri di Yogya.” Kataku menjelaskan dengan penuh
rasa sayang. Akhirnya motor merah itu membawa sepasang sejoli ke suatu tempat.
Di
tengah hening malam dengan tabur bintang yang berenang-renang di angkasa.
Membuat malam ini semakin syahdu. Terlihat bulan tersenyum seakan bahagia
melihat sepasang sejoli yang sedang dilanda asmara. Hawa dinginpun turut andil
dalam pertemuan dua hati itu. Seorang pelayan datang dengan membawa buku daftar
makanan dan minuman yang disediakan di restoran itu. Memang sih itu bukan
restoran yang mahal seperti di bintang lima. Tetapi rasa masakannya tidak kalah
dengan restoran bintang lima. Aku mulai memilih makanan dan minuman begitu juga
Dimas yang sedang memiih menu makanan dan minuman.
“Kamu
mau pesan apa?” Tanya Dimas kepadaku. “Terserah, samain aja dengan pilihanmu.”kataku.
“Ya sudah mbak, kami pesan es limon tea dua dan steak dua” kata Dimas ke
pelayan restoran. Kami mulai membicarakan tentang hubungan kami. Dimas sudah
mengetahui kalau kedua orang tuaku tidak menyetujui hubungan kami. Tapi dia
tetap berusaha untuk bisa meraih impian itu. “Put, kamu beneran masih ingin
hubungan kita lanjut?”tanya Dimas serius. Mendengar ucapan Dimas berasa hatiku
diatuhi bom atom “Lho kamu kok bilang begitu? Memangnya kenapa? Kamu tidak mau
memperjuangkan hubungan kita?, Katanya kamu cinta tapi mana?” Akupun balik
nanya. “Iya aku benar-benar sayang dan cinta sama kamu. Tapi aku takut kita tak
akan pernah bersatu untuk selamanya.” jawab Dimas. “Sudahlah Dimas, kita jalani
saja yang sekarang. Biarlah air mengalir di tempatnya. Ikuti arusnya saja, aku
sayang kamu kok. Aku tidak akan rela kalau disuruh pisah denganmu.” kataku dengan
tegas. “Ya sudah itu makanan dan minumnaya udah datang. Dinikmati dulu.” kata Dimas.
”Putri, apa kita kawin lari saja ya put?” tanya Dimas. Putri sontak tersedak
mendengar kata-kata yang dilontarkan dari mulut Dimas. “uhuk…apa? kawin lari? aku
belum kepikiran sampai sana. Kan aku sudah pernah bilang, kamu itu harus berusaha
untuk meyakinkan orang tuaku, bahwa kamu itu sungguh-sungguh ingin denganku.” jawabku.
“Iya sudah put kalau gitu, itu tadi hanya pikiran sesaatku, karena aku terlalu
mencintaimu,” kata Dimas. Motor merah itu membawa lari sepasang sejoli yang
dimabuk cinta. Motor itu tepat berhenti di depan pintu rumah minimalis berwarna
hijau. Aku pun turun dari motor dan tak
lupa mencium tangan Dimas sebagai tanda terima kasih.
…
Suara
alarmpun berbunyi, membuat aku terperanjak dari tempat tidurku. Aku langsung
berdiri membuka tirai kamarku. Kusapa mentari yang selalu senyum dipagi hari.
Kicau burung yang mengiringi indahnya suasana di pagi hari. Meskipun keluarga
kami tinggal di kota tapi kami merasa sangat nyaman. Suasanya masih asri
seperti halnya di desa. Ini adalah hari libur jadi aktivitasku hanya berdiam
diri di rumah. Sedangkan kedua orang tuaku juga bersantai di rumah.
Hpku
berdering, tanda sms masuk. Ku baca sms dari Dimas untuk mengajakku ke
rumahnya. Aku sontak bilang “ya” dan mau. Tanpa pikir panjang aku cepat-cepat berdandan
cantik untuk menemui kedua orang tuanya.
Dimas
telah menungguku di depan rumah. Aku segera ke luar rumah dengan
mengendap-endap. Terdengar dari arah belakang. Mamaku memanggilku dengan
lantang “ Putri….mau kemana kamu?” teriak mama dari arah dapur. Aku tak berani
menjawab, takut kalau mama curiga. Akhirnya mama keluar dari dapur dan
menghampiriku. “A..ku, mau keluar sebentar ma,”jawabku tergagap-gagap. Mama
sudah mengetahui kalau yang mengajakku adalah Dimas. “Sudah, tidak usah keluar,
pasti kamu bersama Dimas. Ingat nduk. Dia itu tak sepadan dengan kita. Dimas
itu bukan cowok yang baik.”kata Mama. “ta..pi, Dimas sudah menunggu di depan
ma,…” rengekku. “Ya sudah, disuruh masuk aja Dimas, mama mau bicara!” kata
mama. “Jangan ma, biar Dimas pulang saja” nada suaraku mulai pelan. Aku
bingung, akhirnya ku turuti
Dimas
pun masuk ke dalam rumah. Dia hanya bisa diam. Mamaku memarahi dia sampai aku
tak sanggup untuk melihatnya. Wajah Dimas berubah drastis menjadi merah. Aku
juga bisa merasakan kalau Dimas sangatlah malu dan kecewa dalam hal ini. Tanpa
pamitan denganku, Dimas mengendarai motornya dengan sangat cepat. Motor merah
yang dikendarai Dimas melaju dengan sangat kencangnya.
Mentari
seakan tak kuasa melihat kejadian ini. Burung-burung yang terbang kian-kemari
seakan takut dengan amarah mamaku kepada Dimas. Anginpun seakan ikut marah
melihat kejadian yang tak semestinya terjadi. Aku menyadari bahwa benar yang
dikatakan mamaku. Cinta kami tak akan pernah bersatu. Perbedaannya seperti bumi
dan langit. Tapi apakah cinta hanya memandang secara materi saja. Katanya cinta
itu sepenuh hati, bukan sekadar materi? Ah, apalah…aku mulai lelah dengan apa
itu cinta yang sebenarnya. Hubunganku dengan Dimas selalu ditentang oleh kedua
orang tuaku.
...
Tiga
hari telah berlalu. Tapi kabar tentang Dimas pun tak muncul. Aku mulai khawatir
dengannya. Dering Hpku berbunyi menjawab semua pertanyaanku. Dimas menelponku
bahwa dia ingin kami bertemu. Aku tidak berpikir panjang. Kata “ya” langsung ku
lontarkan. Akhirnya kami janjian ketemu di Taman.
Di
taman Dimas bicara kalau malam ini kami akan bersenang-senang. Tapi aku tak
tahu maksudnya. Aku hanya menggangguk saja. Motor merah itu membawa kami ke
sebuah hotel. Hotel itu terlihat sederhana dan rapi. Aku sontak bertanya-tanya.
“Mengapa Dimas membawaku ke hotel?”bisik hatiku. Tapi aku hanya mengambil sisi
positifnya saja. Mungkin dia ingin mengajak makan malam di restoran hotel. Aku
hanya diam saja dengan ini. Entah apa yang ada dipikiranku. Aku bingung dengan
apa yang akan terjadi. Setelah kami menyantap makanan dan menghabiskan minuman.
Dimas bertanya langsung kepadaku “Kamu beneran cinta dan sayang sama aku kan?.”
Akupun hanya mengangguk tak bisa berkata apa-apa. Akhirnya kami menghabiskan
waktu bersama di kamar hotel. Aku hanya mengangguk dan menuruti apa kata Dimas.
Mungkin ini yang dikatakan di mabuk cinta. Apapun akan dilakukan demi cinta.
Malam
itu sangatlah syahdu antara aku dan Dimas. Aku sangatlah puas tidak memikirkan
hubungan kami yang ditentang oleh orang tuaku. Kami sangatlah menikmati suasana
itu. Sampai aku tak sadar aku terlelap dalam dekapannya.
Kicau
burung membuat aku terbangun dari tempat tidurku. Betapa terkejutnya sosok
Dimas yang masih terlelap disampingku. Aku sadar bahwa semalam aku melakukan
hal yang tak patut untuk dilakukan. Akupun menangis tersedu-sedu, melihat
kenyataan pahit itu.
…
Satu
minggu telah berlalu. Rasanya kepalaku sangatlah pusing. Aku selalu mual saat
mau makan. Mamaku menyarankan untuk ke dokter. Tapi aku berusaha untuk
menolaknya. “Mama, sangat khawatir dengan kamu. Ayo kita ke dokter” kata mama.
Aku takut kalau Mama curiga. Akhirnya aku menuruti keinginan mama.
Di
dalam rumah sakit aku pun diperiksa. “Ya, Allah, semoga apa yang aku takutkan
tak terjadi.”dalam hati aku bermunajad. Dokterpun mengatakan bahwa aku hamil. Mamaku
hanya melongo, terkejut mendengar suara itu. Suara itu seperti meledak di
telingaku. Kami melangkahkan kaki keluar ruangan dengan tak berdaya.
Mobil
pun melaju dengan kecepatan yang normal. Mama hanya diam membisu. Tak
melontarkan kata sedikitpun. Aku mulai takut dengan semua ini.
Mobil
telah berhenti tepat di depan rumah. Aku dan mama masuk ke dalam dan duduk di
ruang keluarga. Aku meminta maaf atas apa yang aku lakukan. “Ma, maafkan putri
ma, putri khilaf ma.” permintaanku.
“Siapa
yang menghamili kamu?”tanya Mama. “Dimas, mah” jawabku singkat. “Sekarang
dimana dia?”tanya mama lagi. “Setelah kejadian itu dia tak ada kabar sama
sekali ma.” Balasku. “iya kan, udah kebukti perkataan mama bahwa dia itu tak
pantas buat kamu, dia bukan cowok baik-baik, Putri.” suara mama mulai meninggi.
“Iya mah, aku sekarang sadar, bahwa yang mama katakan, semua benar, maafkan aku
ya mah….”tangisku mulai membahasi pipiku. “Tapi, mama tidak menyuruhku untuk menggugurkan
kandungan ini kan?”tanyaku. Mama menjawab, “tidak, kok cah ayu…ini tetap cucu
mama, tidak ada yang perlu disesali, mungkin memang jalannya seperti ini”. Aku
pun memeluk mama dengan sangat erat.
Aku
mulai sadar, bahwa penyesalan pasti datang terlambat. Tapi kini aku mulai
mengambil hikmahnya bahwa orang yang kita anggap baik belum tentu baik. Orang
tualah yang pasti tahu tentang kita. Cintaku berakhir dengan luka. Tapi buah
cintaku tak akan ku akhiri dengan luka. Aku akan merawatnya kelak, menjadi
seorang yang tangguh dan tak mudah berputus asa.
SELESAI
IJAZAH
KANG PARTO
T
|
ubuhnya
yang terkapar di ranjang serasa ditimpa beban sepuluh kilogram. Matanya mulai
berkaca-kaca memandang di sekililing tempat tidurnya. Parto merasa kesakitan
dengan keadaan yang menimpa dirinya saat ini
“aduh…aduh…kepalaku
pusing sekali, badanku terasa capek sekali, sakit…apakah ini memang takdir
hidupku yang seperti ini…”keluh Parto sambil mengerang kesakitan.
Akhir-akhir
ini Parto merasa kelelahan dengan keadaan yang dialaminya. Parto mulai
menyadari kalau hidup di kota metropolitan memang sangat kejam. Pagi-pagi benar
sudah berangkat ke Pasar hanya untuk sesuap nasi. Jangankan untuk ditabung.
Buat makan saja susahnya minta ampun.
Parto
memanglah lelaki yang sangat rajin, ulet dan bertanggung jawab. Tapi nasib
berkata lain. Dia hanyalah sebagai kuli panggul di Pasar Tanah Abang. Kehidupannya sangatlah pas-pasan. Ia tinggal
di kontrakan sederhana yang hanya beralaskan ubin. Sanak saudarapun tak punya. Sangatlah
malang kehidupan Parto itu.
Setiap
pagi buta Parto melangkahkan kakinya ke Pasar untuk menuruti para pelanggannya
di sana. Sering dia menghadapi orang yang dermawan, bahkan juga orang pelit
sekalipun. Parto sering mendapat caci maki dari pelanggannya. Tapi Parto tetaplah
menerima keadaannya tersebut.
Tiba-tiba
ada seorang setengah baya yang melangkahkan kakinya ke kontrakan Parto. Dengan
suara seraknya, lelaki setengah baya itupun memanggil Parto sambil mengetuk
pintunya “assalamu ‘alaikum kang Parto,” kata seorang dibalik pintu.
“wa’alaikum
salam kang Bejo, silakan masuk ke dalam,” kata Parto dengan nada lemah sambil
berjalan sempoyongan membukakan pintu.
Lelaki
setengah baya yang akrab disapa dengan sebutan kang Bejo itu merupakan temannya
bekerja sebagai kuli pangggul di Pasar. “Lho kang, kamu sakit tho?ayo tak
antarkan ke dokter” minta kang Bejo. “tidak usah kang, tidak apa-apa kok, besok
pasti juga sudah sembuh dan bisa beraktivitas kembali kang. Doakan saja yang
terbaik kang” kata Parto dengan suara yang pelan.
Kang
Bejo pun hanya menuruti keinginannya saja. Parto memang tak mau kalau disuruh
ke dokter, dia hanya menganggap penyakitnya itu biasa saja. Hanya sekadar
kelelahan. Kang Bejo pun keluar dari kontrakannya Parto dengan menahan rasa
kesedihan yang amat mendalam.
…
Suara
adzan mulai terdengar sahut-menyahut. Kokok ayam pun terdengar ditelinga Parto.
Ini menandakan malam telah berganti pagi. Saatnya orang memulai aktivitasya
masing-masing. Ada yang sholat subuh di mushola sekitar. Ada yang mulai
berangkat bekerja demi keluarga tercintanya. Begitu juga Parto melakukan hal
yang sama. Air wudlu pun membasahi muka Parto. Partopun melangkahkan kaki untuk
beribadah sholat dengan khusyuk.
Sebelum
Parto memeras keringatnya demi sesuap nasi. Parto memakai kaos oblong berwarna
merah lengan pendek dan celana pendek berwarna coklat. Meskipun sangat
sederhana tetapi Parto kelihatan sangat rapi. Ia keluar dari rumah dengan
memantapkan hati bahwa memang jalan ini yang terbaik untuk dirinya.
Parto
menyusuri setiap tikungan yang ada. Sampailah di Pasar Tanah Abang. Banyak
orang yang memperjualbelikan dagangannya di Pasar. Inilah kota metropolitan
yang semua orang dituntut untuk bekerja. Merasakan kejamnya dunia yang fana ini
“kang
Parto, tolong beras sekarung ini diangkut ke depan ya kang,” kata ibu yang
memakai baju merah.
“iya
bu.” Kata Parto menuruti permintaan pelanggannya. Dengan sigap Parto pun memanggul
beras itu ke punggungnya.
…
Rutinitas
itupun selalu dijalani oleh Parto. Terkadang titik jenuh itupun datang membawa
sejuta pertanyaan yang muncul dalam pikirannya. Pertanyaan yang selama ini akan
disirnakannya. Tapi mau apa lagi pertanyaan itu akan muncul ketika kebosanan
dan kelelahan yang menghampiri.
“Woy…kang,
melamun saja kamu? masih memikirkan nasibmu yang tak sesuai dengan
perjuanganmu? Mbok ndak usah dipikir kang, Hidup ini memang pahit kang. Apalagi
hidup di kota Jakarta yang kejam ini. Hanya orang-orang yang duduk di kursi
besar yang bisa melakukan hal sesuai dengan keinginannya.” Kata kang Bejo yang
tiba-tiba datang menghampiri.
Parto
hanya diam. Merenungi kata demi kata yang terlontarkan dari lelaki separuh baya
itu. “ya, kang, aku sudah berusaha ikhlas untuk menjalani semua ini, tapi
terkadang pertanyaan itu pun selalu muncul dalam benakku kang.” Kata Parto
dengan suara lirih.
“Sabar
saja kang, mungkin dewi fortuna belum berpihak kepadamu, suatu saat nanti
kebahagiaan yang kamu tunggu akan datang kang.” Balas kang Bejo dengan mantap.
“Mungkin
omonganmu benar kang, di Kota Metropolitan ini yang berkuasa hanyalah orang
yang duduk di kursi-kursi besar. Orang-orang itu yang hanya bisa memerintah
anak buahnya sesuka hatinya. Bahkan pemerintah itupun tak sadar bahwa banyak
rakyatnya yang susah payah mecari sesuap nasi untuk makan hari ini. Dia hanya
duduk di tempat ber-AC yang ketika mau apa saja tinggal minta. “ Kata parto
dengan panjang lebar.
“Iya
kang Parto, mereka hanya duduk manis di ruang ber-Ac yang tak tahu keluh kesah
rakyat kecil sekarang ini.” Kata Kang Bejo.
“Iya
kang benar, mungkin lagu Roma Irama itu cocok sekali. Yang kaya makin kaya yang
miskin makin miskin.”jelas Parto.
“apakah
kamu tidak mencari kerja yang lebih baik dari kuli panggul? Bisa kan kang kerja
di kantoran dengan gaji yang lumayan gede.
Tampangmu juga tak jelek-jelek amat kang. Dipoles sedikit bisa jadi
artis…hehehe” ejek kang Bejo.
“Geeer….ada-ada
saja kamu kang, aku saja datang dari kampung untuk mencari pekerjaan. Bukanlah
untuk menjadi seorang artis.” kata Parto.
“lho,
ya ndak apa-apa. Kan bisa sambil menyelam minum air.” Kata Kang Bejo yang masih
kental dengan logat jawanya.
“lha
nanti kesedak kang, kalau menyelam minum air, hehehe” ejek Parto kepada Kang
Bejo. Gelak tawa mereka mencairkan suasana di warung depan pasar itu. Es teh
serta gorengan menemani obrolan singkat mereka di jam istirahat kerja.
Gorengan pun disantap mereka dengan
lahapnya.
…
Kata-kata
kang Bejo itupun selalu memenuhi ruang otaknya. Parto mulai gundah dengan apa
yang dikatakan Kang Bejo kemarin siang itu. Pikirannya bagaikan bercabang
seperti pohon yang sudah berumur ratusan tahun. Parto pun mulai terbangun dari
tidur yang tak nyenyak. Ia merenungi semua yang dibicarakan Kang Bejo itu.
Mungkin semua perkataan kang Bejo itu masuk akal.
“Mengapa
aku tak mencobanya lagi untuk mencari pekerjaan yang lebih layak untukku?”bisik
hati Parto
Pertanyaan
itu pun selalu muncul akhir-akhir ini. “Benar yang dikatakan Kang Bejo, aku itu
layak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada kuli panggul. Bahkan bisa
duduk di ruangan ber-AC yang apapun bisa dilayani. Mungkin aku terlalu sibuk
dengan keadaan yang selama ini ku jalani. Sampai-sampai aku tak sempat
memikirkan masa depanku yang lebih indah. Sudah setahun aku tak berusaha lagi
mencari pekerjaan dengan ijazah Manajemen S1-ku.”bisik hati Parto yang semakin kacau.
Pertanyaan
itu pun muncul bertubi-tubi sampai Parto tak bisa memejamkan matanya. Sesegera
mungkin ia mengambil air wudlu. Agar ditunjukan jalan yang terbaik dari Allah
SWT.
…
Parto
kembali menggeluti rutinitasnya sebagai kuli panggul. Mungkin ia merasa lelah
atau apalah…Parto kemudian menemui Kang Bejo yang dianggap sebagai sahabatnya
untuk mencurahkan keluh kesahnya.
“Kang,
obrolan kita kemarin membuat aku tak bisa tidur. Selalu keingat kata-kata yang
terlontar dari mulutmu kang.” Kata Parto dengan nada melas.
“Justru
itu Parto, kamu itu harus bangkit. Janganlah kamu tinggal diam saja. Lha wong
kamu itu lulusan dari perguruan tinggi ya seharusnya bekerja di ruangan ber-AC.
Tetapi mengapa kamu malah berpanas-panasan sebagai kuli panggul yang gajinya
hanya untuk makan sehari-hari saja.” Kata kang Bejo dengan nada tinggi.
“Benar
kang yang kamu katakan. Katanya pemerintah membuka lapangan pekerjaan yang
banyak. Tapi kenyataannya apa, pengangguran dimana-mana. Toh aku yang lulusan
S1 saja bingung mencari pekerjaan yang tepat dan enak kang. Nasib-nasib… kang
terkadang tidak selalu mulus, banyak aral melintang.” Keluh Parto
“Memang
benar katamu Parto. Sebenarnya pemerintah itu sudah membuka lapangan pekerjaan.
Tapi saking banyaknya lulusan malah menjadi membludak seperti ini. Pengangguran
berceceran di mana-mana. Ya seperti aku dan kamu ini. Meskipun tidak menganggur
tapi kita bekerja pas-pasan. Mungkin nasib yang belum berpihak kepada kita
kang.” Kata Kang Bejo.
Keduanya
asyik mengobrol sampai tak tahu waktu bahwa langit yang semula cerah berubah
menjadi gelap. Parto dan Kang Bejo sama-sama merenungi nasib yang tak tahu akan
kapan berakhir dengan bahagia.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar