Selasa, 09 Desember 2014

Serba-Serbi Cerpenku


KETIKA CINTA BERUJUNG NESTAPA

M
ataku terbelalak ketika lampu kamarku tiba-tiba mulai padam.  Aku pun sontak beranjak dari tempat tidurku. Tanganku mulai menyanggah tubuhku yang masih sempoyongan. Jemariku mulai meraba-raba mencari senter sebagai penerangan. Senterpun segera kunyalakan.  Tapi apa daya, mataku mulai tak bisa berkompromi, Aku mulai tak kuasa menahan tubuhku ini kemudian ku bantingkan tubuhku dengan keras ke atas kasur empukku.
“uh…tidur lgi ah…masih ngantuk, Huah…”kataku. Aku tertidur pulas dalam mimpiku.
Tak terasa mentaripun mulai mengintip dibalik awan. Ayam berkokok sambil sahut-menyahut. Terdengar suara dibalik pintu bahwa ada seseorang yang memanggil-manggil…
“ Putri, ayo bangun nduk…sudah pagi nih, kamu ndak  berangkat kuliah?”Kata mamaku.
Suara itu adalah mamaku. Mama yang paling menyayangiku. Aku mempunyai keluarga yang bahagia. Ayahku bernama Mangkunegoro Hadiningrat. Sedangkan mamaku bernama Roro Sasmito. Mungkin dari nama kedua orangtuaku sudah kelihatan jelas, bahwa aku masih ada keturunan ningrat. Tapi aku tak pernah memandang orang-orang yang ada di sekitarku itu sebelah mata. Akupun punya seorang cowok yang bernama Dimas. Dimas sangat perhatian kepadaku. Tapi apalah daya orang tuaku tak pernah setuju dengan hubungan kami..
“Kring-Kring” dering hpku berbunyi. Membuyarkan lamunanku di pagi hari. Ku baca pesan yang masuk, ternyata temanku sudah menunggu aku di taman kampus.
Aku berlari mengambil handukku yang berada diatas jemuran dan bergegas ke toilet untuk mandi.
Tak berapa lama aku sampai di kampus bertemu dengan Dimas kekasihku. Dimas sangat mencintai aku, tapi apalah daya orang tua tak merestui hubungan kami. Ketika pulang dari kampus aku diantar sampai gerbang rumah. Mama mengetahui hal itu kemudian memarahiku “Putri, kamu dianterin Dimas lagi. Dia itu tak sepadan dengan kita cah ayu, Kita itu keturunan ningrat, sedangkan dia itu hanya anak tukang sapu di jalanan, mikir tho cah ayu?” kata Mamaku. Aku hanya diam tertegun merenungi nasibku yang tak kunjung bahagia. Mungkin waktu belum berpihak kepadaku.
Lamunanku membuat aku tertidur pulas tak tahu waktu. Ku tengok jam dindingku menunjukan angka tujuh. Itu saatnya aku harus siap-siap untuk pergi bersama Dimas kekasihku. Aku bingung memilih baju yang cocok untuk pergi kencan bersama Dimas. Dalam hatiku sangat beruntung sekali mamaku tak mengetahui hal ini. Karena kedua orang tuaku ada acara di rumah eyang putri. Tak lupa kusemprotkan minyak wangi ke seluruh badanku. Hatiku berasa dag-dig-dug seperti gendang yang ditabuh begitu keras. Tak lupa ku jinjing tas warna coklat kesukaanku. Tas itu adalah  pemberian dari Dimas tercinta.
Terdengar suara mesin motor yang tak asing lagi di telingaku. Aku langsung turun dari tangga membukakan pintu untuk orang yang kusayangi. Meskipun dia mengendarai motor butut, tetapi hatiya sangat luar biasa. Dimas masuk ke rumahku agak sedikit gelisah, Takut kalau ada orang tuaku dirumah. “Kok sepi ? ke mana ayah dan mamamu?”Dimas bertanya sambil clingukan. “Tenang saja, Ayah dan mamaku sedang pergi ke rumah eyang putri di Yogya.” Kataku menjelaskan dengan penuh rasa sayang. Akhirnya motor merah itu membawa sepasang sejoli ke suatu tempat.
Di tengah hening malam dengan tabur bintang yang berenang-renang di angkasa. Membuat malam ini semakin syahdu. Terlihat bulan tersenyum seakan bahagia melihat sepasang sejoli yang sedang dilanda asmara. Hawa dinginpun turut andil dalam pertemuan dua hati itu. Seorang pelayan datang dengan membawa buku daftar makanan dan minuman yang disediakan di restoran itu. Memang sih itu bukan restoran yang mahal seperti di bintang lima. Tetapi rasa masakannya tidak kalah dengan restoran bintang lima. Aku mulai memilih makanan dan minuman begitu juga Dimas yang sedang memiih menu makanan dan minuman.
“Kamu mau pesan apa?” Tanya Dimas kepadaku. “Terserah, samain aja dengan pilihanmu.”kataku. “Ya sudah mbak, kami pesan es limon tea dua dan steak dua” kata Dimas ke pelayan restoran. Kami mulai membicarakan tentang hubungan kami. Dimas sudah mengetahui kalau kedua orang tuaku tidak menyetujui hubungan kami. Tapi dia tetap berusaha untuk bisa meraih impian itu. “Put, kamu beneran masih ingin hubungan kita lanjut?”tanya Dimas serius. Mendengar ucapan Dimas berasa hatiku diatuhi bom atom “Lho kamu kok bilang begitu? Memangnya kenapa? Kamu tidak mau memperjuangkan hubungan kita?, Katanya kamu cinta tapi mana?” Akupun balik nanya. “Iya aku benar-benar sayang dan cinta sama kamu. Tapi aku takut kita tak akan pernah bersatu untuk selamanya.” jawab Dimas. “Sudahlah Dimas, kita jalani saja yang sekarang. Biarlah air mengalir di tempatnya. Ikuti arusnya saja, aku sayang kamu kok. Aku tidak akan rela kalau disuruh pisah denganmu.” kataku dengan tegas. “Ya sudah itu makanan dan minumnaya udah datang. Dinikmati dulu.” kata Dimas. ”Putri, apa kita kawin lari saja ya put?” tanya Dimas. Putri sontak tersedak mendengar kata-kata yang dilontarkan dari mulut Dimas. “uhuk…apa? kawin lari? aku belum kepikiran sampai sana. Kan aku sudah pernah bilang, kamu itu harus berusaha untuk meyakinkan orang tuaku, bahwa kamu itu sungguh-sungguh ingin denganku.” jawabku. “Iya sudah put kalau gitu, itu tadi hanya pikiran sesaatku, karena aku terlalu mencintaimu,” kata Dimas. Motor merah itu membawa lari sepasang sejoli yang dimabuk cinta. Motor itu tepat berhenti di depan pintu rumah minimalis berwarna hijau. Aku pun  turun dari motor dan tak lupa mencium tangan Dimas sebagai tanda terima kasih.
Suara alarmpun berbunyi, membuat aku terperanjak dari tempat tidurku. Aku langsung berdiri membuka tirai kamarku. Kusapa mentari yang selalu senyum dipagi hari. Kicau burung yang mengiringi indahnya suasana di pagi hari. Meskipun keluarga kami tinggal di kota tapi kami merasa sangat nyaman. Suasanya masih asri seperti halnya di desa. Ini adalah hari libur jadi aktivitasku hanya berdiam diri di rumah. Sedangkan kedua orang tuaku juga bersantai di rumah.
Hpku berdering, tanda sms masuk. Ku baca sms dari Dimas untuk mengajakku ke rumahnya. Aku sontak bilang “ya” dan mau. Tanpa pikir panjang aku cepat-cepat berdandan cantik untuk menemui kedua orang tuanya.
Dimas telah menungguku di depan rumah. Aku segera ke luar rumah dengan mengendap-endap. Terdengar dari arah belakang. Mamaku memanggilku dengan lantang “ Putri….mau kemana kamu?” teriak mama dari arah dapur. Aku tak berani menjawab, takut kalau mama curiga. Akhirnya mama keluar dari dapur dan menghampiriku. “A..ku, mau keluar sebentar ma,”jawabku tergagap-gagap. Mama sudah mengetahui kalau yang mengajakku adalah Dimas. “Sudah, tidak usah keluar, pasti kamu bersama Dimas. Ingat nduk. Dia itu tak sepadan dengan kita. Dimas itu bukan cowok yang baik.”kata Mama. “ta..pi, Dimas sudah menunggu di depan ma,…” rengekku. “Ya sudah, disuruh masuk aja Dimas, mama mau bicara!” kata mama. “Jangan ma, biar Dimas pulang saja” nada suaraku mulai pelan. Aku bingung, akhirnya ku turuti
Dimas pun masuk ke dalam rumah. Dia hanya bisa diam. Mamaku memarahi dia sampai aku tak sanggup untuk melihatnya. Wajah Dimas berubah drastis menjadi merah. Aku juga bisa merasakan kalau Dimas sangatlah malu dan kecewa dalam hal ini. Tanpa pamitan denganku, Dimas mengendarai motornya dengan sangat cepat. Motor merah yang dikendarai Dimas melaju dengan sangat kencangnya.
Mentari seakan tak kuasa melihat kejadian ini. Burung-burung yang terbang kian-kemari seakan takut dengan amarah mamaku kepada Dimas. Anginpun seakan ikut marah melihat kejadian yang tak semestinya terjadi. Aku menyadari bahwa benar yang dikatakan mamaku. Cinta kami tak akan pernah bersatu. Perbedaannya seperti bumi dan langit. Tapi apakah cinta hanya memandang secara materi saja. Katanya cinta itu sepenuh hati, bukan sekadar materi? Ah, apalah…aku mulai lelah dengan apa itu cinta yang sebenarnya. Hubunganku dengan Dimas selalu ditentang oleh kedua orang tuaku.     
...
Tiga hari telah berlalu. Tapi kabar tentang Dimas pun tak muncul. Aku mulai khawatir dengannya. Dering Hpku berbunyi menjawab semua pertanyaanku. Dimas menelponku bahwa dia ingin kami bertemu. Aku tidak berpikir panjang. Kata “ya” langsung ku lontarkan. Akhirnya kami janjian ketemu di Taman.
Di taman Dimas bicara kalau malam ini kami akan bersenang-senang. Tapi aku tak tahu maksudnya. Aku hanya menggangguk saja. Motor merah itu membawa kami ke sebuah hotel. Hotel itu terlihat sederhana dan rapi. Aku sontak bertanya-tanya. “Mengapa Dimas membawaku ke hotel?”bisik hatiku. Tapi aku hanya mengambil sisi positifnya saja. Mungkin dia ingin mengajak makan malam di restoran hotel. Aku hanya diam saja dengan ini. Entah apa yang ada dipikiranku. Aku bingung dengan apa yang akan terjadi. Setelah kami menyantap makanan dan menghabiskan minuman. Dimas bertanya langsung kepadaku “Kamu beneran cinta dan sayang sama aku kan?.” Akupun hanya mengangguk tak bisa berkata apa-apa. Akhirnya kami menghabiskan waktu bersama di kamar hotel. Aku hanya mengangguk dan menuruti apa kata Dimas. Mungkin ini yang dikatakan di mabuk cinta. Apapun akan dilakukan demi cinta.
Malam itu sangatlah syahdu antara aku dan Dimas. Aku sangatlah puas tidak memikirkan hubungan kami yang ditentang oleh orang tuaku. Kami sangatlah menikmati suasana itu. Sampai aku tak sadar aku terlelap dalam dekapannya.
Kicau burung membuat aku terbangun dari tempat tidurku. Betapa terkejutnya sosok Dimas yang masih terlelap disampingku. Aku sadar bahwa semalam aku melakukan hal yang tak patut untuk dilakukan. Akupun menangis tersedu-sedu, melihat kenyataan pahit itu.
Satu minggu telah berlalu. Rasanya kepalaku sangatlah pusing. Aku selalu mual saat mau makan. Mamaku menyarankan untuk ke dokter. Tapi aku berusaha untuk menolaknya. “Mama, sangat khawatir dengan kamu. Ayo kita ke dokter” kata mama. Aku takut kalau Mama curiga. Akhirnya aku menuruti keinginan mama.
Di dalam rumah sakit aku pun diperiksa. “Ya, Allah, semoga apa yang aku takutkan tak terjadi.”dalam hati aku bermunajad. Dokterpun mengatakan bahwa aku hamil. Mamaku hanya melongo, terkejut mendengar suara itu. Suara itu seperti meledak di telingaku. Kami melangkahkan kaki keluar ruangan dengan tak berdaya.
Mobil pun melaju dengan kecepatan yang normal. Mama hanya diam membisu. Tak melontarkan kata sedikitpun. Aku mulai takut dengan semua ini.
Mobil telah berhenti tepat di depan rumah. Aku dan mama masuk ke dalam dan duduk di ruang keluarga. Aku meminta maaf atas apa yang aku lakukan. “Ma, maafkan putri ma, putri khilaf ma.” permintaanku.
“Siapa yang menghamili kamu?”tanya Mama. “Dimas, mah” jawabku singkat. “Sekarang dimana dia?”tanya mama lagi. “Setelah kejadian itu dia tak ada kabar sama sekali ma.” Balasku. “iya kan, udah kebukti perkataan mama bahwa dia itu tak pantas buat kamu, dia bukan cowok baik-baik, Putri.” suara mama mulai meninggi. “Iya mah, aku sekarang sadar, bahwa yang mama katakan, semua benar, maafkan aku ya mah….”tangisku mulai membahasi pipiku. “Tapi, mama tidak menyuruhku untuk menggugurkan kandungan ini kan?”tanyaku. Mama menjawab, “tidak, kok cah ayu…ini tetap cucu mama, tidak ada yang perlu disesali, mungkin memang jalannya seperti ini”. Aku pun memeluk mama dengan sangat erat.
Aku mulai sadar, bahwa penyesalan pasti datang terlambat. Tapi kini aku mulai mengambil hikmahnya bahwa orang yang kita anggap baik belum tentu baik. Orang tualah yang pasti tahu tentang kita. Cintaku berakhir dengan luka. Tapi buah cintaku tak akan ku akhiri dengan luka. Aku akan merawatnya kelak, menjadi seorang yang tangguh dan tak mudah berputus asa.


SELESAI
IJAZAH KANG PARTO

T
ubuhnya yang terkapar di ranjang serasa ditimpa beban sepuluh kilogram. Matanya mulai berkaca-kaca memandang di sekililing tempat tidurnya. Parto merasa kesakitan dengan keadaan yang menimpa dirinya saat ini
“aduh…aduh…kepalaku pusing sekali, badanku terasa capek sekali, sakit…apakah ini memang takdir hidupku yang seperti ini…”keluh Parto sambil mengerang kesakitan.
Akhir-akhir ini Parto merasa kelelahan dengan keadaan yang dialaminya. Parto mulai menyadari kalau hidup di kota metropolitan memang sangat kejam. Pagi-pagi benar sudah berangkat ke Pasar hanya untuk sesuap nasi. Jangankan untuk ditabung. Buat makan saja susahnya minta ampun.
Parto memanglah lelaki yang sangat rajin, ulet dan bertanggung jawab. Tapi nasib berkata lain. Dia hanyalah sebagai kuli panggul di Pasar Tanah Abang.  Kehidupannya sangatlah pas-pasan. Ia tinggal di kontrakan sederhana yang hanya beralaskan ubin. Sanak saudarapun tak punya. Sangatlah malang kehidupan Parto itu.
Setiap pagi buta Parto melangkahkan kakinya ke Pasar untuk menuruti para pelanggannya di sana. Sering dia menghadapi orang yang dermawan, bahkan juga orang pelit sekalipun. Parto sering mendapat caci maki dari pelanggannya. Tapi Parto tetaplah menerima keadaannya tersebut.
Tiba-tiba ada seorang setengah baya yang melangkahkan kakinya ke kontrakan Parto. Dengan suara seraknya, lelaki setengah baya itupun memanggil Parto sambil mengetuk pintunya “assalamu ‘alaikum kang Parto,” kata seorang dibalik pintu.
“wa’alaikum salam kang Bejo, silakan masuk ke dalam,” kata Parto dengan nada lemah sambil berjalan sempoyongan membukakan pintu.
Lelaki setengah baya yang akrab disapa dengan sebutan kang Bejo itu merupakan temannya bekerja sebagai kuli pangggul di Pasar. “Lho kang, kamu sakit tho?ayo tak antarkan ke dokter” minta kang Bejo. “tidak usah kang, tidak apa-apa kok, besok pasti juga sudah sembuh dan bisa beraktivitas kembali kang. Doakan saja yang terbaik kang” kata Parto dengan suara yang pelan.
Kang Bejo pun hanya menuruti keinginannya saja. Parto memang tak mau kalau disuruh ke dokter, dia hanya menganggap penyakitnya itu biasa saja. Hanya sekadar kelelahan. Kang Bejo pun keluar dari kontrakannya Parto dengan menahan rasa kesedihan yang amat mendalam.
Suara adzan mulai terdengar sahut-menyahut. Kokok ayam pun terdengar ditelinga Parto. Ini menandakan malam telah berganti pagi. Saatnya orang memulai aktivitasya masing-masing. Ada yang sholat subuh di mushola sekitar. Ada yang mulai berangkat bekerja demi keluarga tercintanya. Begitu juga Parto melakukan hal yang sama. Air wudlu pun membasahi muka Parto. Partopun melangkahkan kaki untuk beribadah sholat dengan khusyuk.
Sebelum Parto memeras keringatnya demi sesuap nasi. Parto memakai kaos oblong berwarna merah lengan pendek dan celana pendek berwarna coklat. Meskipun sangat sederhana tetapi Parto kelihatan sangat rapi. Ia keluar dari rumah dengan memantapkan hati bahwa memang jalan ini yang terbaik untuk dirinya.
Parto menyusuri setiap tikungan yang ada. Sampailah di Pasar Tanah Abang. Banyak orang yang memperjualbelikan dagangannya di Pasar. Inilah kota metropolitan yang semua orang dituntut untuk bekerja. Merasakan kejamnya dunia yang fana ini
“kang Parto, tolong beras sekarung ini diangkut ke depan ya kang,” kata ibu yang memakai baju merah.
“iya bu.” Kata Parto menuruti permintaan pelanggannya. Dengan sigap Parto pun memanggul beras itu ke punggungnya.
Rutinitas itupun selalu dijalani oleh Parto. Terkadang titik jenuh itupun datang membawa sejuta pertanyaan yang muncul dalam pikirannya. Pertanyaan yang selama ini akan disirnakannya. Tapi mau apa lagi pertanyaan itu akan muncul ketika kebosanan dan kelelahan yang menghampiri.
“Woy…kang, melamun saja kamu? masih memikirkan nasibmu yang tak sesuai dengan perjuanganmu? Mbok ndak usah dipikir kang, Hidup ini memang pahit kang. Apalagi hidup di kota Jakarta yang kejam ini. Hanya orang-orang yang duduk di kursi besar yang bisa melakukan hal sesuai dengan keinginannya.” Kata kang Bejo yang tiba-tiba datang menghampiri.
Parto hanya diam. Merenungi kata demi kata yang terlontarkan dari lelaki separuh baya itu. “ya, kang, aku sudah berusaha ikhlas untuk menjalani semua ini, tapi terkadang pertanyaan itu pun selalu muncul dalam benakku kang.” Kata Parto dengan suara lirih.
“Sabar saja kang, mungkin dewi fortuna belum berpihak kepadamu, suatu saat nanti kebahagiaan yang kamu tunggu akan datang kang.” Balas kang Bejo dengan mantap.
“Mungkin omonganmu benar kang, di Kota Metropolitan ini yang berkuasa hanyalah orang yang duduk di kursi-kursi besar. Orang-orang itu yang hanya bisa memerintah anak buahnya sesuka hatinya. Bahkan pemerintah itupun tak sadar bahwa banyak rakyatnya yang susah payah mecari sesuap nasi untuk makan hari ini. Dia hanya duduk di tempat ber-AC yang ketika mau apa saja tinggal minta. “ Kata parto dengan panjang lebar.
“Iya kang Parto, mereka hanya duduk manis di ruang ber-Ac yang tak tahu keluh kesah rakyat kecil sekarang ini.” Kata Kang Bejo.
“Iya kang benar, mungkin lagu Roma Irama itu cocok sekali. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.”jelas Parto.
“apakah kamu tidak mencari kerja yang lebih baik dari kuli panggul? Bisa kan kang kerja di kantoran dengan gaji yang lumayan gede. Tampangmu juga tak jelek-jelek amat kang. Dipoles sedikit bisa jadi artis…hehehe” ejek kang Bejo.
“Geeer….ada-ada saja kamu kang, aku saja datang dari kampung untuk mencari pekerjaan. Bukanlah untuk menjadi seorang artis.” kata Parto.
“lho, ya ndak apa-apa. Kan bisa sambil menyelam minum air.” Kata Kang Bejo yang masih kental dengan logat jawanya.
“lha nanti kesedak kang, kalau menyelam minum air, hehehe” ejek Parto kepada Kang Bejo. Gelak tawa mereka mencairkan suasana di warung depan pasar itu. Es teh serta gorengan menemani obrolan singkat mereka di jam istirahat kerja. Gorengan  pun disantap mereka dengan lahapnya.
Kata-kata kang Bejo itupun selalu memenuhi ruang otaknya. Parto mulai gundah dengan apa yang dikatakan Kang Bejo kemarin siang itu. Pikirannya bagaikan bercabang seperti pohon yang sudah berumur ratusan tahun. Parto pun mulai terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Ia merenungi semua yang dibicarakan Kang Bejo itu. Mungkin semua perkataan kang Bejo itu masuk akal.
“Mengapa aku tak mencobanya lagi untuk mencari pekerjaan yang lebih layak untukku?”bisik hati Parto
Pertanyaan itu pun selalu muncul akhir-akhir ini. “Benar yang dikatakan Kang Bejo, aku itu layak mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada kuli panggul. Bahkan bisa duduk di ruangan ber-AC yang apapun bisa dilayani. Mungkin aku terlalu sibuk dengan keadaan yang selama ini ku jalani. Sampai-sampai aku tak sempat memikirkan masa depanku yang lebih indah. Sudah setahun aku tak berusaha lagi mencari pekerjaan dengan ijazah Manajemen S1-ku.”bisik hati Parto yang semakin kacau.
Pertanyaan itu pun muncul bertubi-tubi sampai Parto tak bisa memejamkan matanya. Sesegera mungkin ia mengambil air wudlu. Agar ditunjukan jalan yang terbaik dari Allah SWT.
Parto kembali menggeluti rutinitasnya sebagai kuli panggul. Mungkin ia merasa lelah atau apalah…Parto kemudian menemui Kang Bejo yang dianggap sebagai sahabatnya untuk mencurahkan keluh kesahnya.
“Kang, obrolan kita kemarin membuat aku tak bisa tidur. Selalu keingat kata-kata yang terlontar dari mulutmu kang.” Kata Parto dengan nada melas.
“Justru itu Parto, kamu itu harus bangkit. Janganlah kamu tinggal diam saja. Lha wong kamu itu lulusan dari perguruan tinggi ya seharusnya bekerja di ruangan ber-AC. Tetapi mengapa kamu malah berpanas-panasan sebagai kuli panggul yang gajinya hanya untuk makan sehari-hari saja.” Kata kang Bejo dengan nada tinggi.
“Benar kang yang kamu katakan. Katanya pemerintah membuka lapangan pekerjaan yang banyak. Tapi kenyataannya apa, pengangguran dimana-mana. Toh aku yang lulusan S1 saja bingung mencari pekerjaan yang tepat dan enak kang. Nasib-nasib… kang terkadang tidak selalu mulus, banyak aral melintang.” Keluh Parto
“Memang benar katamu Parto. Sebenarnya pemerintah itu sudah membuka lapangan pekerjaan. Tapi saking banyaknya lulusan malah menjadi membludak seperti ini. Pengangguran berceceran di mana-mana. Ya seperti aku dan kamu ini. Meskipun tidak menganggur tapi kita bekerja pas-pasan. Mungkin nasib yang belum berpihak kepada kita kang.” Kata Kang Bejo.
Keduanya asyik mengobrol sampai tak tahu waktu bahwa langit yang semula cerah berubah menjadi gelap. Parto dan Kang Bejo sama-sama merenungi nasib yang tak tahu akan kapan berakhir dengan bahagia.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar